Minggu, 08 Mei 2011

61 PRINSIP PRIBADI MUKMIN

Indonesian Broadcaster
(your radio broadcasting specialist)


Prinsip (01-10) Dari 
61 PRINSIP PRIBADI MUKMIN


Bismillahirrohmanirrohiim
Assalamu’alaykum warohmatullaahi wabarokaatuh


Sahabat dRadio-man yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta'ala…

Guna mengkomunikasikan (menjawab) cukup banyak pertanyaan tentang perkara amar makruf nahyi mungkar, akhlak, ihsan, amanah, taffakur, ikhlas, qana’ah, husnuzhon, itsar, wara’ tawadhu’, dan lain sebagainya, semoga catatan yang saya rangkum dari kitab “Laa Tansa” berikut ini insyaAllah menjawab keseluruhannya, dan dibagi menjadi 6 Seri dari “61 Prinsip Pribadi Mukmin”.
 

Apabila Ikhwah fillah mendapat manfaat dari catatan ini, kemudian berminat untuk meng-copy atau membuat link-nya, maka tafadhol wa barakallahu fiekum insyaAllah, MESKI tanpa izin terlebih dahulu…


Sahabat dRadio-man…

Teladan kaum muslimin yang paling utama, pemilik akhlak dan kepribadian yang sempurna adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab {33}:21).

Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Hibban dalah shahih-nya dari Abdullah bin Amru, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Maukah aku khabarkan kepadamu tentang orang yang paling aku cintai dan yang paling dekat tempat duduknya kepadaku pada hari kiamat nanti?” Beliau mengulangi perkataan ini sampai tiga kali. Para sahabat berkata, “Ya, kami mau Rasulullah.” Beliau saw kemudian menjawab, “Yaitu orang yang paling baik akhlaknya.”

Dengan demikian, seluruh muslim hendaknya meneladani seluruh perkataan, perbuatan, dan seluruh sirah Rasulullah saw, serta melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya agar mencapai kebahagiaan di akhirat. Di antara akhlak yang harus dimiliki oleh setiap muslim adalah :



1. Berakhlak baik (terpuji)

Akhlak yang baik merupakan cermin dari sifat dan kepribadian yang mulia serta terpuji. Akhlak yang baik adalah hikmah dari hati yang bersih, jauh dari penyakit hati di antaranya; iri, dengki, dendam, dan perbuatan dusta, serta menebar permusuhan di antara sesama manusia.

Diriwayatkan dari hadits riwayat Abu Dawud dari Abu Umamah al-Bahili ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku adalah penghulu sebuah istana di dasar surga bagi orang yang menghindari perseteruan sekali pun ia berada di pihak yang benar. (Penghulu) sebuah istana di tengah-tengah surga bagi siapa yang meninggalkan dusta sekali pun hanya untuk bercanda, dan (penghulu) sebuah istana di surga yang paling tinggi bagi orang yang berakhlak baik.”

Merupakan kewajiban seorang hamba Allah setelah menghiasi diri dengan akhlak yang baik (terpuji) pada situasi dan kondisi apa pun di dalam bergaul dengan masyarakat, dengan mencontoh Rasulullah saw, sebagai contoh yang terbaik bagi umat manusia. Hal yang demikian itu memerlukan latihan dan keistiqomahan.

2. Mencintai Allah dan rasul-Nya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah …” (QS. Al-Baqarah {2}:165).

Salah satu tanda orang yang beriman adalah mencintai Allah dan rasul-Nya. Imam Muslim meriwayatkan dari Abbas ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman sehingga aku lebih dicintai olehnya daripada keluarganya, hartanya, dan manusia seluruhnya.”

Hamba yang mencintai Allah tentu mencintai al-Qur’an dan Nabi saw, yang menyampaikannya. Tanda cinta kepada Nabi adalah mencintai sunnah. Tanda cinta kepada sunnah adalah cinta kepada akhirat. Tanda cinta kepada akhirat adalah tidak suka kepada dunia dan hanya mau mengambilnya sebagai bekal menuju akhirat.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah {9}:24).

3. Mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah

Merupakan fitrah manusia untuk memiliki kecenderungan atau kecintaan, baik terhadap manusia yang lain maupun terhadap harta (duniawi). Namun, sebaik-baiknya cinta adalah mencintai karena Allah swt. Mencintai orang lain atau saudaranya karena Allah hanya lahir dari bersihnya hati dan akhlak yang baik. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda,

Pada hari kiamat nanti, Allah akan berfirman, “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku naungi mereka dalam naungan-Ku, dimana tidak ada naungan selain naungan-Ku.”

Hanya dengan mencintai karena Allah-lah dapat terjalin suatu ikatan persaudaraan yang sejati, seperti yang pernah dicontohkan oelh Rasulullah saw bersama sahabat-sahabat Belaiu saw. Al-Hakim dan Ibnu Hibban meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah dua orang itu saling mencintai karena Allah, melainkan orang yang paling cinta kepada Allah itu lebih kuat cintanya kepada saudaranya.”

Hamba yang telah sempurna imannya, jika dia mencintai adalah karena Allah, dan jika dia membenci maka hanya karena Allah pula. Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Dzar ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menolak karena Allah, maka telah sempurnalah imannya.”

4. Ihsan

Ihsan adalah beribadah beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat Allah, dan yakin sepenuhnya bahwa ibadah yang kita kerjakan senantiasa di awasi oleh Allah swt. Dengan demikian, seorang hamba yang ihsan akan senantiasa merasa bersama Allah, merasa diawasi oleh-Nya sehingga takut untuk berbuat maksiat kepada-Nya, serta bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya.

Seorang hamba yang memiliki derajat ihsan, akan tampak dalam perbuatan maupun ucapan. Hanya orang-orang yang berakhlak baik yang telah mensucikan hati, menjaga lisan, dan perbuatan yang dapat mencapai derajat ihsan, baik di mata manusia maupun dihadapan Allah subhanahu wa ta’ala.

5. Merasa malu kepada Allah

Rasa malu kepada Allah lahir dari kesucian jiwa dan perasaan selalu diawasi segala tindakannya oleh Allah swt. Maka, sejauh mana keimanan dan kedekatan seorang hamba yang shalih dengan Rabb-nya dapat diukur dari rasa malu dia kepada Allah. Karena itulah, rasa malu kepada Allah adalah sebagian dari iman.

Dalam hadits muttafaq ‘alaih disebutkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw pernah melewati salah seorang Anshar yang sedang menasehati saudaranya, disebabkan rasa malu saudaranya (yang berlebihan), lalu Rasulullah saw bersabda, “Biarkanlah dia, karena rasa malu itu merupakan bagian dari iman.”

6. Takut untuk bermaksiat kepada Allah ketika sendiri

Salah satu sifat dari orang yang beriman adalah sebagaimana yang terdapat di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb-lah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Anfaal {8}:2-3).

Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Usamah bin Syuraik, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesuatu yang engkau tidak ingin dilihat oleh orang lain, maka jangan juga engkau lakukan jika engkau sedang sendirian.”

Tanda-tanda takutnya orang yang beriman kepada Allah, apabila disebut nama Allah dan diingatkan dengan nama-Nya, maka bergetarlah hatinya dan bersegera untuk meninggalkan segala perbuatan yang mendatangkan siksa, serta mengerahkan segenap daya upaya untuk selalu melakukan ketaatan kepada-Nya.

Kejujuran seseorang akan rasa takutnya kepada Allah bisa diukur saat dalam keadaan sendiri, bukan saat berada di tengah-tengah manusia. Saat-saat sendiri inilah kebanyakan manusia, lebih sering melanggar larangan Allah. Boleh jadi hal tersebut disebabkan karena rasa malu dan takutnya kepada orang lain lebih besar dibandingkan kepada Allah atau hanya bermaksud riya’ dihadapan manusia. Allah swt berfirman, “….dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (QS. Al-Ahzab {33}:37).

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu hurairah bahwa dia berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Ada tujuh golongan yang dinaungi oleh Allah, pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. (Satu di antaranya) : Seorang laki-laki yang diajak (berbuat zina) oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan cantik wajahnya, lalu dia menjawab, “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.”

7. Selalu berpikir tentang kematian

Hikmah dari berpikir tentang kematian adalah memacu diri untuk memanfaatkan kesempatan hidup di jalan Allah swt. Mereka juga akan menjadi zuhud dengan dunia, tidak tamak terhadapnya dan ridha terhadap pemberian Allah swt.

Ibn ‘Umar ra berkata, “Suatu ketika aku datang kepada Nabi saw, dan mendapati Beliau sedang berada di tengah-tengah jama’ah yang jumlahnya sepuluh orang. Seseorang dari kalangan Anshar bertanya, ‘Siapakah orang yang paling cerdas dan pemurah, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Yaitu orang yang paling rajin mengingat mati dan yang paling baik persiapannya dalam menghadapinya. Itulah orang-orang yang paling cerdas, yang akan memperoleh kehormatan di dunia ini dan di akhirat kelak.”

Hamba Allah yang selalu berpikir dan mengingat kematian akan bersegera untuk beramal shalih dengan penuh kesungguhan dan memberikan yang terbaik dalam beribadah kepada-Nya sebagai bekal di akhirat, karena dia tahu, bahwa hidup di dunia sangatlah singkat, sedangkan akhirat adalah kekal. Mereka-lah hamba-hamba yang cerdas.

8. Bersikap bijak

Setiap mukmin mempu bersikap bijak dalam mengerjakan setiap amalan di dalam kehidupannya, maka segala tindakan maupun perkataannya akan mendatangkan hasil yang positif dan bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Kebijaksanaan lahir dari pertimbangan, merenungi peristiwa dengan seksama, kemudian mengambil pelajaran darinya, serta berhati-hati dan tidak terburu-buru di dalam mengungkap hakikat suatu perkara.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah {2}:269).

Kebijaksanaan-lah yang mampu menyelamatkan seseorang dari keterjerumusan menuju musibah, fitnah orang-orang fasik, yang diakibatkan dari kebodohan dan kecerobohan sehingga menimbulkan penyesalan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujuraat {49}:6).

Dan dengan kebijaksanaan-lah (hikmah), manusia mampu menyeru orang lain untuk menuju kepada jalan Allah, sebagaimana firman-Nya, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …” (QS. An-Nahl {16}:125).

9. Selalu menghendaki kebaikan dan berlomba-lomba (bersegera) untuk melaksanakannya

Seorang hamba yang shalih memiliki kecenderungan untuk selalu menginginkan dan mencintai kebaikan terhadap segala hal. Melalui amal kebaikan yang didasari ketaatan kepada Allah swt, seorang mukmin akan mendapatkan balasan berupa pahala di akhirat kelak.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al-Israa’ {17}:19).

Hamba yang shalih akan bersungguh-sungguh dan bergegas untuk memperbanyak amal kebaikan, berlomba dalam kebaikan atas dasar ketaatan kepada Allah swt. Tidak hanya sampai disitu, dia akan berupaya mengajak orang-orang untuk banyak melakukan kebaikan, keshalihan dan ketakwaan. Allah swt berfirman, “Untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthafifin {83}:26).

10. Amar makruf nahyi mungkar

Makruf adalah segala sifat dan perbuatan yang dikenal dan diterima oleh akal sehat atau nurani sebagai sesuatu yang baik dan sesuai dengan ajaran Allah. Amar makruf atau menyeru kepada yang makruf , merupakan kewajiban bagi setiap mukmin.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Lukman {31):17).

Setiap kita menyeru atau mengajarkan kebaikan kepada seseorang lalu orang yang kita seru itu mengerjakannya, maka kita akan menerima pahala seperti pahala yang diperolehnya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk Allah, maka baginya pahala seperti orang-orang yang mengikuti (petunjuk) itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Malik, Muslim dan Abu Dawud).

Mungkar adalah segala bentuk kegiatan maupun pekerjaan yang dibenci, yang menjauhkan seseorang dengan Allah. Setiap muslim diperintahkan untuk mencegah kemungkaran.

Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Jika dia belum mampu, maka hendaklah dia mengubahnya dengan lidahnya. Dan jika belum juga mampu, maka dengan hatinya. Yang ketiga ini merupakan bukti selamah-lemah iman.” (HR. Muslim dan at-Tirmidzi).


InsyaAllah bersambung di alamat ini :  



Barakallahu fiekum
Wassalamu'alaykum wr.wb.
Ud@dIVe~ dRadio-man

Tidak ada komentar: